Sabtu, 02 April 2011

Apakah Shalat Berjama’ah di Masjid Wajib ataukah Sunnah?


Shalat Berjama’ah di Masjid
Apakah sah shalat seseorang yang melaksanakannya sendirian, sedangkan ia mampu untuk melaksanakan shalat berjama’ah?
Pembahasan tentang masalah ini ditetapkan atas 2 pokok permasalahan:
1. Apakah shalat berjama’ah itu wajib hukumnya, ataukah sunnah saja?
2. Jika shalat berjama’ah itu wajib, apakah ia merupakan syarat sahnya shalat atakah keshahihan shalat berjama’ah dapat menyebabkan dosa jika ditinggalkan?
Pembahasan permasalahan pertama
Para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal ini, diantara para ahli fiqih yang menyatakan bahwa shalat berjama’ah itu wajib adalah ‘Atha bin Abu Rabah, Hasan Al-Bashry, Abu ‘Amru Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam madzhabnya, serta tulisan/karangan Imam Syafi’i dalam “Mukhtashar Al-Mazany” tentang shalat berjama’ah. Beliau berkata, “Tidak ada keringanan dalam meninggalkan shalat berjama’ah kecuali bagi mereka yang berhalangan.” (Ringkasan “Al-Muzanniy” yang dengan sungguh-sungguh ummu 1/109)
Bnu Al-Mundzir berkata dalam “Kitab Al-Ausath”, “Orang buta sekalupun wajib melaksanakan shalat berjama’ah, walaupun rumah mereka berjauhan dari masjid.” Hal ini menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah: Sesungguhnya menghadiri shalat berjama’ah itu wajib hukumnya bukan sunnah.
Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah sesungguhnya jarak antara rumahku dan masjid dibatasi oleh pohon, dapatkah aku jadikan alasan untuk melaksanakan shalat di rumah saja?” Rasulullah berkata, “Apakah kamu mendengar Iqamah?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah bersabda lagi, “Maka datanglah kamu ke masjid dan shalat berjama’ahlah kamu di sana.”
Ibnu Mundzir berkata, “Ditakutkan dapat menyebabkan kenifakan bagi mereka yang meninggalkan shalat Isya’ adn Subuh berjama’ah. Kemudian dalam pertengahan babnya dijelaskan: Banyak Hadits menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah bagi mereka yang tidak berhalangan untuk melaksanakannya. Dalil yang menunjukkan adalah perkataan Ibnu Munzir tentang Ibnu Ummi Maktum yang cacat, “Tiada keringanan bagimu (dalam shalat berjama’ah)”. Jika seorang buta saja tidak mendapatkan keringanan dalam shalat berjama’ah, apalagi bagi orang yang dapat melihat. Ia berkata, “Rasulullah pernah mengancam akan membakar orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah. Saya ingin menjelaskan tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena tidak diperbolehkan (melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri) maka Rasulullah mengancam mereka yang menggantikan yang sunnah dan bukan fardhu.
Ia berkata: Hadits Abu Hurairah menguatkan hal tersebut, “Sesungguhnya seorang laki-laki keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan. Ia berkata, “Orang itu telah mengingkari Abu Qasim (Rasulullah saw).” (Ibnu Majah dalam “Masajid dan Jama’ah-jama’ah”, 793 Abu Dawud dalam “Shalat”, 551 Daruquthni/ 1 420 dan dibenarkan oleh Hakim, 1/245 dan Ibnu Hibban, 2064 dan lengkaplah pendapat mereka, “Kecuali bagi mereka yang udzur”)
Walaupun orang menghadapi pilihan untuk meninggalkan shalat berjama’ah atau mendatanginya, tidak boleh (tidak ada alasan) bagi orang yang meninggalkan apa yang tidak wajib baginya hadir untuk berbuat ingkar (dengan meninggalkan shalat berjama’ah), karena ketika Allah SWT memerintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan takut, maka hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan aman hal itu lebih diwajibkan.
Hadits-hadits yang telah disebutkan dalam tulisan bab-bab Rukhshah tentang meninggalkan shalat berjama’ah bagi mereka yang mempunyai udzur untuk melaksanakannya, menunjukkan atas wajibnya shalat berjam’ah bagi mereka yang memilik udzur, walapun keadaan udzur dan tidak udzur adalah sama saja, secara maknawai dalam bab-ba udzur belum ditemukan Rukhshah (keringanan) untuk meninggalkans shalat berjama’ah.
Dalil yang menegaskan wajibnya shalat berjama’ah adalah sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa mendengar panggilan untuk shalat dan ia tidak menjawabnya maka tidak sah shalat yang ia lakukan.” (HR. Muslim dalam “Al-Masajid” 665, diriwayatkan oleh yang lain-lain). Kemudian hadits ini mengarahkan ke arah tujuan tersebut kemudian ia berkata: Syafi’i berkata: Allah SWT mengingatkan sahalat dengan adzan, firman Allah SWT, “Dan jika kalian dipanggil untuk melaksanakan shalat.” (QS. Al-Maidah: 87) dan firman Allah SWT, “Jika dipanggil untuk melaksanakan shalat di hari Jum’at maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9), dan Rasulullah menjadikan adzan sebagai hal yang sunnah untuk memanggil shalat yang lima waktu, karena sifatnya yang demikian (adzan merupakan panggilan untuk melaksanakan shalat), maka tidak diperbolehkan untuk shalat yang lima waktu itu selain berjama’ah, sehingga tidak ada shalat yang didirkan selain dengan shalat berjama’ah, tidak ada keringanan bagi mereka yang dapat melaksanakan shalat berjama’ah untuk meninggalkannya kecuali bagi mereka yang mempunyai udzur.
Jika seseorang meninggalkan shalat berjama’ah kemudian melaksanakan shalat sendirian, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang shalat kembali, baik ia melaksanakan shalat sebelum imam maupun sesudahnya, kecuali shalat jum’at, karena barangsiapa secara sengaja melaksanakan shalat sebelum imam, maka dia wajib untuk mengulanginya, karena menghadiri shalat jum’at adalah wajib. Demikiianlah penjelasan Ibnu Al-Mundzir mengenai shalat berjama’ah.
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat: shalat berjama’ah itu sunnah muakad, tetapi mereka berpendapat bahwa meninggalkannya merupakan dosa, sedangkan mereka mensahkan (membenarkan) shalat yang tanpa berjama’ah. Dal hal ini mereka bertentangan dengan orang yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya shalat berjama’ah itu wajib lafdzy.”
Di Bawah ini merupakan penjelasan orang yang mengatakan wajb:
Orang-orang yang meawjibkan shalat berjama’ah berkata: Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan bersama-sama, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang segolongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu….” (QS. An-Nisa: 102).
Bentuk pembuktiannya adalah sebagai berikut:
1. Dalil pertama: Perintah Allah SWT kepada mereka untuk shalat berjama’ah, kemudian Allah mengulangi perintah tersebut untuk kedua kalinya bagi kelompok yang kedua. Firman Allah SWT, “Hendaklah datang golongan yang kedua belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.
Bukti ini menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu fadhu ‘ain. Karena Allah tidak mengabaikan perintah untuk shalat berjama’ah pada kelompok yang kedua sebagaimana yang diperintahkan kepada kelompok pertama untuk melaksanakan shalat berjama’ah pula.  Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa shalat berjama’ah itu sunnah, karena jika demikian halnya, pastilah kelompok pertama memiliki udzur untuk tidak melaksanakan shalat berjama’ah dengan alasan akan adanya rasa takut. Tidak tepat pula kalau dikatakan shalat berjama’ah itu fardh kifayah, karena menjadi tidak relevan dengan apa yang dilakukan oleh kelompok yang pertama.
Maka ayat tersebut merupakan dalil bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain. Hal ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1. Allah memerintahkan untuk shalat berjama’ah kepada kelompok pertama, 2. kemudian Allah memerintahkan kelompok kedua untuk melaksanakkannya juga, 3. Allah tidak memberikan keringanan-keringanan bagi mereka untuk meninggalkannya walaupundalam keadaan takut.
2. Dalil kedua: Firman Allah SWT:
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٍ۬ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ (٤٢) خَـٰشِعَةً أَبۡصَـٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٌ۬‌ۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَـٰلِمُونَ (٤٣)
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereke tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera. ” (QS. Al-Qalam: 42-43).
Aspek yang dapat dijadikan dall shalat berjama’ah adalah: sesungguhnya Allah SWT member hukuman di hari kiamat, dikarenakan antara keadaan mereka dan sujud, ketika mereka dipanggil untuk bersujud di dunia, mereka enggan untuk menjawab panggilan tersebut.
Jika demikian halnya, maka jawaban dari panggilan itu adalah datang ke masjid untuk memenuhi tuntunan shalat berjama’ah, dan bukan mengerjakan shalat di rumahnya sendiri, demikianlah Nabi saw menjelasakan jawabannya.
Muslim meriwayatkan dalm shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata, Seseorang lelaki buta datang kepada Nabi seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah memiliki penuntun jalan untuk menuntunku datan ke masjid, kemudian ia meminta Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia berpaling (hendak berlalu pergi) Rasulullah memanggilnya kembai dan berkata, “Apakah kamu mendengar panggilan (adzan).” Ia berkata, “Ya.” Rasululla bersabda, “Maka Jawablah.” (HR. Muslim “Al-Masaajid wa Mawadli’ Al-Shalah”. 63).
Ia tidak menjawab panggilan tersebut dengan melaksanakan shalat di rumahnya, jika ia mendengar panggilan (seruan adzan), hal ini menunjukkan bahwa jaawban yang diminta dari perintah tersebut adalah mendatangi masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah.
Hadits Ibnu Ummi Maktum juga membutikannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kota (Madinah) itu bnyak sekali hal yang mengerikan dan binatang buas, Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (Mariah shalat dan marila mencapai kebahagiaan)?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah berkata, “Hayyahala (Penuhilah kedua ajakan itu).” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad (Lafadz ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Al-Shalat” 553 dan Nasa’i dalam “Imamah” 2/110 dan Ahmad 3/423 serta Ibnu Majah dalam “Al-Masajid” 792. Dibenarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1480).
Hayyahala adalah kalimat perintah yang artinya adalah terimalah dan jawablah. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya menjawabapa yang diperintahkan di sini adalah melaksanakan shalat berjama’ah, sedangkan yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab panggilan tersebut.
Tidak sedikit ulama salaf yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah, “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan yang sejahtera” adalah perataan Mu’adzin, “Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falah”. (Diriwayatkan oleh Thabari 43/29) dari Ibrahim at-Taimy an Sa’id bin Jabir dan ditetapkan oleh Suyuti dalam Daruquthni yang terkenal 8/256. Baihaqi dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mardiyah berita-berita dari Ka’ab).
Dalil di atas membuktikan dua hal: 1. Bahwasanya menjawab panggilan (untuk shalat berjama’ah) adalah wajib, 2. Bahwa yang dimaksud dengan menjawab panggilan di sini adalah menghadiri shalat berjama’ah.
Inilah yang dipahami oleh golongan orang yang paling mengetahui dan paling memahami apa yang dimaksud dengan “Manjawab Panggilan”, mereka itu adalah para sahabat radhiallahu’anhum. Ibnu Mundzir berkata dalam kitab Al-Ausath, “Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa sesungguhnya keduanya berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan (seruan adzan) kemudian tidak menjawabnya, maka sesungguhnya tidak diterima salatnya, kecuali bagi mereka yang berhalangan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubar” 3/174).
Ia berkata, dan diriwayatkan dari Aisyah sesungguhnya ia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan (seruan adzan) dan ia tidak menjawab, dan tidak menerima dengan baik dan tidak menerimanya.” (Diriwayatkn oleh Al-Baihaqi “As-Sunan Al-Kubra: 3/57).
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Mengisi kedua telinga anak manusia dengan timah yang terkumpul lebih baik bagi seorang anak manusia daripada ia mendengar seruan (panggilan untuk shalat) kemudian ia tidak menjawab panggilan tersebut.”
Hal ini dan banyak lagi dalil yang lainnya menunjukkan bahwa para sahabat menjawab panggilan tersebut dengan menghadiri shalat berjama’ah, sedangkan mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab panggilan tersebut, aka mereka menjadi berdosa.
3. Dalil ketiga: Firman Allah SWT:
 وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ  
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” (QS. Al-Baqarah: 43).
Konteks dari ayat tersebut adalah sesunguhnya Allah SWT memerintahkan mereka untuk ruku, yang dimaksud ruku disini adalah shalat, dan shalat diibaratkan dengan ruku karena ruku merupakan salah satu rukun shalat, dan shalat ini diibaratkan dengan rukun-rukunnya dan wajib-wajibnya. Seperti Allah SWT menamakannya dengan sujud (sujuudan), quraanan, maupun pujian-pujian (tasbiihan), maka mestilah firman Allah SWT “ma’ar raki’in” mempunya pengertian lain, yang tidak lain dari melaksanakannya bersama para jama’ah yang melaksanakan shalat dan kebersamaan itu mengandung makna tersebut.
 Jika perintah yang terikat (Al-Amru Al-Muqayyad) ditetapkan berdasarkan bentuk sifat dan kondisi tertentu, maka orang yang mendapatkan perintah tersebut harus mengaplikasikannya sesuai dengan sifat dan kondisi tersebut.
Jika dikatakan bahwa kewajiban shalat berjama’ah ini menjadi batal dengan firman Allah SWT, “Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran: 43). Maka wanita tidak diwajibkan untuk hadir dalam shalat berjama’ah. Dijelaskan ayat ini tidak menunjukkan bahwa seorang wanita tidak diperintahkan untuk shalat berjama’ah, akan tetapi perintah tersebut dikhususkan kepada Maryam saja. Berberda dengan firman Allah SWT, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43). Dalam hal ini Maryam memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh wanita lain, karena ibunya pernah bernadzar untuk menjadikan Maryam sebagai hama yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah, dan untuk beribadah kepada-Nya, serta mengabdi untuk memakmurkan masjid, dan tidak meninggalkannya. Maka diperintahkan kepadanya untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’. Dan ketika Allah SWT memilih Maryam  dan mensucikannya di atas semua wanita yang ada di dunia, Allah memerintahkannya untuk selalu ta’at kepada perintah-Nya dengan perintah yang khusus dan lain dari wanita pada umumnya. Firman Allah SWT, Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di duni (yang semasa denganmu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang sujud.” (QS. Ali Imran: 42-43). Maka jika dikatakan keadaan mereka yang diperintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, tidak secara harfiah menunjukkan kewajiban untuk ruku’ seperti mereka, akan tetapi menunjukkan akan keharusan untuk melakukan perintah tersebut.
Sebagaimana firman Allah SWT,  “Hai orang-orang yang beriman bertawakallah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119), kebersamaan (kata ma’a) yang dimaksud menuntut keikutsertaan dan keterlibatan dalam melakukan pekerjaan dan bukan hanya sebatas mengiringi. Dijelaskan bahwa hakekat kebersamaan adalah pertalian antara apa yang sesudahnya dengan apa-apa yang sebelumnya, dan pertalian disini lebih ditekankan kepada keikutsertaan, apalagi dalam shalat. Maka jika dikatakan shalatlah engkau bersama jama’ah, atau aku telah melaksanakan shalat bersama dengan jama’ah. Maka hal itu tidaklah dapat dipahami kecuali kumpulnya mereka untuk melaksanakan shalat.
4. Dalil keempat: Yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain – dengan lafadz Bukhari – Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku sangat ingin memerintahkan (orang-orang) untuk mengumpulkan kayu bakar lalu dinyalakan, kemudian aku memerintahkan shalat sehingga dikumandangkanlah adzan untuk itu, lalu aku memerintahkan seseorang laki-laki untuk mengimami mereka, sementara aku mencari orang-orang (yang tidak mengikuti shalat berjama’ah) dan aku bakar rumah mereka. Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara mereka mengetahui bahwa ia akan mendapatkan potongan daging yang gemuk atau dua binatang buruan yang baik, niscaya ia akan mengikuti jama’ah shalat Isya.” (HR. Shahih Bukhari dalam “Adzan” 744, Muslim dalam “Al-Masajid” 751, dan ‘Arq = tulang dan daging, atau memotong daging, sedang “marmatami” mempunyai pengertian antaranya: yang ada di antara dua kuku kambing yang dibuang atau selainnya).
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
 إِنَّ أَثْقَلَ الصًّلاَةِ عَلَى الْمُنَا فِقِيْنَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَ صَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَاوَلَوْحَبْوًاوَلَقَدْهَمَمْتُ أَنْ آمُرَبِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِ جَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
 ”Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat isya (berjama’ah) dan shalat subuh (berjama’ah), seandainya merek mengetahui  (hikmah) yang ada dalam keduanya niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin memerintahkan (orang-orang) untuk melaksanakan shalat sehingga shalat itu didirikan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang yang membawa ikatan kayu bakar (yang menyala) menuju kepada orang-orang yang tidak mengikuti shalat (berjama’ah), lalu aku membakar rumah mereka dengan api itu.” (Kedua Imam, Muslim dan Bukhari, sepakat atas keshahihan hadits ini, dan lafadz dari Muslim. Dari hadits yang sama pendapat keduanya dan Bukhari berpendapat seperti itu, 657).
Dari Imam Ahmad dari Nabi Muhammad saw, “Kalau di rumah itu tidak ada wanita dan anak-anak, aku melaksanakan shalat isya, dan aku perintahkan para pemuda untuk membakar apa yang ada di dalam rumah itu. ” (HR. Musnad Imam Ahmad, 2/367).
Mereka yang mengatakan tidak wajib mengemukakan beberapa alasan yang menunjukkan tidak wajibnya shalat berjama’ah ditinjau dari beberapa aspek:
a. Pertama: Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at. Dalil yang memperkuatnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Musim dalam shahihnya dari hadits Abdullah bin Mas’ud r.a. sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda kepada kaumnya yang meninggalkan shalat Jum’at, “Telah aku perintahkan laik-laki untuk shalat berjama’ah, kemudian aku akan membakar rumah laki-laki yang melaksanakan shalat jum’at di rumah mereka.” (HR. Shahih Muslim dalam “Al-Masajid wa Mawadi’u Al-Shalah” 652)
b. Kedua: Sesungguhnya hal ini boleh dilakukan ketika hukuman denda berupa materi dijalankan, kemudian dihapuskan dengan adanya hukuman yang berupa hukuman denda tersebut.
c. Ketiga: Dalam hal ini Nabi hanya mengancam saja tanpa berniat untuk melaksanakan ancamannya. Kalau seandainya pembakaran tersebut dibolehkan/dilaksanakan maka hal itu menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah. Sesungguhnya hukuman tidak harus demikian, bahkan jika seandainya shalat berjama’ah itu wajib, atau haram sekalipun, ketika Nabi tidak melaksanakan ancamannya, hal itu menunjukkan bahwa pembakaran tidak boleh dilaksanakan.
Mereka berkata, “Hadits di atas menunjukkan batalnya wajib shalat berjama’ah, karena meninggalkan shalat berjama’ah, bukan berarti meninggalkan hal yang wajib (dalam hal ini shalat fardhu).”
Mereka juga berkata bahwa Nabi saw berniat untuk membakar rumah-rumah mereka, dikarenakan kepura-puraan (kemunafikan) mereka, bukan lantaran karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah.
Orang-orang yang mewajibkan shalat berjama’ah berkata, “Dalil-dalil yang Anda sebutkan tidak mengandung petunjuk yang membatalkan hadits yang mengisyaratkan wajibnya shalat berjama’ah:
Perkataan kalian, “Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jum’at.” Memang benar bahwa ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jum’at tetapi juga sekaligus ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah. Secara gamblan hadits Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa hal itu ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan hal itu secara jelas terdapat di awal dan akhir hadits. Dan hadits Ibnu Mas’ud r.a. menunjukkan bahwa hal itu juga ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat jum’at. Maka dalam hal ini tidak ada pertentangan di antar kedua hadits tersebut.
Sedangkan perkataan kaian, “Sesungguhnya hal itu dihapuskan.” Alangkah sulitnya untuk menguatkan/menetapkan pendapat tersebut! Dimanakah syarat-syarat naskh (penghapusan) yang mengharuskan adanya hukum pengganti dari hukum yang digantikannya. Niscaya kalian dan semua penghuni bumi ini tidak akan mempunyai cara untuk menetapkan statement tersebut. Telah banyak orang yang menjadikan Naskh dan Ijma’ sebagai cara untuk menghapuskan sunnah-sunnah yang tetap dari Rasulullah saw dan ini bukanlah hal yang sepele. Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan sunnah-sunnah Rasulullah saw yang benar dengan menggunakan dan jangan pula meninggalkannya dengan menggunakan Naskh kecuali ada Naasikh (yang menghapuskannya) yang benar dan jelas yang datang setelah itu yang diambil dan dijaga oleh ummat manusia. Jika ummat ini meninggalkan Naasikh yang seharusnya dijaga, dan sebaliknya menjaga Mansukh yang hukumnya telah tidak berlaku lagi, maka tidak ada lagi yang tersissa dari agama ini. Akan tetapi banyak dari generasi selanjutnya yang jika melihat hadits yang bertentangan dengan madzhab mereka, mereka kemudian mena’wilkannya (sesuai dengan madzhab mereka), hal ini jelas akan menimbulkan pertentangan. Jika datang kepada mereka dalil yang mematahkan pendapat mereka, mereka akan berdalih dengan menggunakan Ijma’, dan jika mendapatkan pertentangan yang tidak memungkinkan mereka untuk menggunakan Ijma’, mereka berdalih bahwa dalil tersebut telah di-Mansukh-kan.ik A Cara demikian bukanlah cara yang sepatutnya dilakukan oleh ummat Islam. Bahkan ummat Islam menentang cara-cara seperti ini, dan jika mereka menemukan sunnah Rasulullah saw yang benar dan jelas, mereka tidak akan membatalkannya dengan ta’wil dan tidak pula dengan Ijma’ serta Naskh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah merupakan orang-orang yang sangat menentang cara-cara seperti itu dengan taufik Allah SWT.
Sesugguhnya Nabi tidaklah melaksanakan niatnya untuk orang yang dilarang yang telah dikabarkan bahwa Rasullah saw telah mencegahnya untuk melakukan hal itu, yaitu mencakup rumah yang di dalamnya terdapat orang yang tidak diwajibkan atas mereka shalat berjama’ah yang terdiri dari para wanita dan anak-anak, maka apabila seandainya mereka membakar untuk melaksanakan hukuman kepada mereka yang tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah, hal ini tidak dapat dilakukan. Sebagaiman jika al-Had (Hukum Syari’at) dijatuhkan kepada wanit yang hamil, maka hukuman itu tidak dilakukan (ditunda) sampai wanita itu melahirkan, agar hukuman tersebut tidak berakibat kepada kehamilannya. Dan Rasulullah saw selamanya tidak bermaksud untuk melakukan apa yang tidak boleh dilaksanakan.
Sebagian ulama telah memberikan jawaban yang lain, yaitu, “Sesungguhnya kaum ini lebih takut kepada Rasulullah saw daripada mendengarkan perkataan tersebut, kemudian mereka meninggalkan shalat berjama’ah.”
Adapun pendapat kalian yang menyebutkan, Bahwa hadits itu menunjukkan adanya ketidakwajiban shalat berjama’ah, karena beliau ragu-ragu apakah ia meninggalkannya atau tidak. Satu hal yang tidak mungkin dinisbatkan dan tidak pula dituduhkan kepada Rasulullah saw adalah bahwa beliau ragu-ragu memberikan hukuman kepada sekelompok kaum Muslimin dengan membakar rumah-rumah mereka karena meninggalkan suatu amalan sunnah yang belum diwajibkan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan Rasulullah saw belum memberitahukan bahwa beliau pernah melakukan shalat sendirian, tetapi beliau shalat berjama’ah dengan para sahabatnya yang pergi bersamanya ke rumah itu. Juga kalaulah ia shalat sendirian maka pastilah di sana ada dua kewajiban yaitu, Wajib berjama’ah dan wajib memberikan hukuman kepada orang-orang berbuat maksiat dan memeranginya. Maka dalam hal ini meninggalkan yang lebih rendah dari kedua kewajiban tersebut karena mendahulukan yang lebih tinggi, seperti halnya pada shalat khauf.
Adapun pendapat anda yang menyebutkan: Bahwa Beliau saw bermaksud memberi hukuman kepada mereka karena keingkaran mereka bukan karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah. Maka hal ini perlu dilihat dua hal. Pertama adalah pembatalan apa yang diekspresikan oleh Rasulullah saw dan menghubungkan hukuman karena meninggalkan shalat berjama’ah. Kedua mengekspresikan apa yang dibatalkannya, maka sesungguhnya tidaklah orang-orang munafik itu dihukum karena nifak mereka, tetapi karena perbuatan mereka yang tidak terlihat, sedangkan yang tersembunyi dari mereka diserahkan kepada Allah. (Yang berpendapat bahwa maksudnya adalah keinginan orang-orang munafik adalah Syafi’i dan lain-lain sebagaimana di dalam “Al-Majmu” 4/192, dan dikuatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini dalam “Fathul Baari”, hanya saja ia menguatkan bahwa maksudnya kemaksiatan dan bukan kekafiran seperti yang dimaksud oleh Pengarang).
5. Dalil Kelima : Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab “Shahih”-nya: Bahwa seorang laki-laki buta berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak memilki seorangpun yang dapat menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta Rasulullah saw untuk memberikan keringanan baginya. Ketika ia berpaling, dipanggilnya ia oleh Rasulullah saw dan berkata, “Apakah engkau mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw menjawab, “Penuhilah (datanglah untuk shalat)”. Orang ini adalah Ibnu Ummi Maktum dan ada perbedaan pendapat mengenai namanya, kadang disebut Abdullah dan kadang disebut Amru.
Dalam “Musnad” Imam Ahmad, dan “Sunan” Abu Dawud dari Amru bin Ummi Maktum berkata, “Aku berkata wahai Rasulullah aku orang lemah yang jauh dari masjid dan aku punya pemimpin tapi tidak melindungiku, apakah ada keringanan buatku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw bersabda, “Apakah engkau mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw berkata lagi, “Tidak ada keringanan bagimu”.
Orang-orang yang menolak diwajibkannya shalat Jama’ah berpendapat: Ini perkara yang disukai bukan perkara yang diwajibkan. Perkataan Nabi saw yang menyebutkan,”Tidak ada keringanan bagimu” artinya kalau engkau mau mendapat keutamaan berjama’ah, maka lakukanlah.
Ada lagi yang berpendapat: Hal ini telah dimansukh.
Orang yang mewajibkan berpendapat: Perintah itu berarti suatu keharusan. Jadi bagaimana jika seorang ahli syara menerangkan bahwasanya tidak ada keringanan bagi seorang hamba yang tidak berjama’ah karena lemah dan jau dari masjid dan tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Maka kalaulah seorang hamba itu kebingungan antara shalat sendirian atau berjama’ah pasti yang paling bingung ini adalah orang seperti yang buta itu.
Abu Bakar bin Mundzir berpendapat bahwa perintah untuk berjama’ah kepada orang yang buat dan yang rumahnya jauh merupakan dalil yang menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu wajib bukan sunnah. Ketika dikatakan kepada Ibnu Ummi Maktum yang kenyataannya buta, “Tidak ada keringanan bagimu” maka lebih-lebih bagi orang yang melihat tidak ada keringanan baginya.
6. Dalil Keenam : Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hatim dan Ibnu Hibban dalam hadits shahihnya dari Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendengar adzan dan tidak ada udzur apapun yang menghalanginya dari keikutsertaannya.” Mereka berkata, “Udzur apa?” Nabi saw bersabda, “Ketakutan atau sakit, maka shalat yang sudah dilaksanakannya tidak akan diterima.”
Orang-orang yang tidak mewajibkannya berpendapat bahwa hadits ini mempunyai dua cacat:
a. Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dari Ma’ariku yang merupakn seorang budak dan ia lemah di kalangan mereka.
b. Kedua : Hadits itu diketahui dari Ibnu Abbas dan berhenti padanya, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa: Qosim Ibnu Asbagh dalam kitabnya berkata: Ismai’il bin Ishak al-Qadli telah menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Habib bin (Abi) Tsabit, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Barang siapa mendengar adzan dan tidak menjawab, maka tidak punya pahala shalat kecuali karena adanya udzur.” dan cukuplah bagi Anda kebenaran hadits ini dengan isnad tersebut. [Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli 4/190]
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir Ali bin Abdul Aziz kepada kami, Amr bin Auf menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami, dari Syu’bah dari Huda bin Tsabit, dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas dengan hadits yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah saw). [Hadits ini diriwayatkan berdasarkan jalur riwayat Hasyim dari Syu'bah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban 2064 dari Baihaqi 3/174].
Mereka mengatakan Ma’arik yang merupakan seorang budak telah meriwayatkan kepadanya Abi Ishak As-Sabi’i berdasarkan kemuliaannya. Kalau mungkin tidak benar, dia akan mencabutnya, maka benar apa yang datang dari Ibnu Abbas tanpa ada keraguan, yaitu bahwa riwaya tersebut merupakan perkataan sahabat yang tidak dibantah oleh sahabat yang lain.
7. Dalil Ketujuh : Apa yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata, “Barang siapa yang merasa senang untuk dipertemukan pada hari kiamat dalam keadaan muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu yang selalu diserukan (di-adzan-i), karena shalat-shalat itu termasuk jalan-jalan petunjuk, dan sesungguhnya kalau engkau shalat di rumah-rumah kalian seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau berjama’ah berarti engkau meninggalkan sunnah Nabi kalian, kalau engkau meninggakan sunnah Nabi berarti engkau sesat. Seseorang yang bersuci kemudian memperbaiki kesuciannya, kemudian menuju masjid dari masjid-masjid yang ada, tiada lain baginya kecuali Allah akan menulis setiap langkahnya dengan kebaikan dan derajatnya ditingkatkan, dan dilihangkan darinya kejelekan. Dan engkau telah menyaksikan orang-orang yang tidak suka berjama’ah adalah orang yang munafik yang nyata kemunafikannya. Dan tidaklah seseorang telah didatangi dan diberi petujunjuk di antara dua orang sehingga ia berdiri di shaf (dalam shalat berjama’ah). ” [Muslim dalam Al-Masajid dan Mawadi Al Shalah 654].
Dalam lafadz: “Sesungguhnya Rasulullah mengajari kita jalan untuk mencapai hidayah, dan sesungguhnya salah satu jalan itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan.” [Hadits ini diriwayatkan oleh riwayat Muslim sebagaimana dikemukakan sebelumnya].
Maka aspek pembuktiannya adalah: Bahwasanya meninggalkan jama’ah itu merupakan salah satu tanda dari orang-oarng munafik yang nyata kemunafikannya, dan tanda-tanda kemunafikan itu dengan (tidak ?)meninggalkan hal-hal yang disukai dan (tidak ?) melakukan yang dibenci. Maka, orang yag mengamati tanda-tanda orang munafiq di dalam sunnah, ia akan mendapatkannya baik meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram. Pengertian ini telah ditegaskan dengan perkataannya, “Barang siapa yang senang akan dipertemukan dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu yang selalu dipanggil dengannya.” Orang yang meninggalkannya dan yang shalat di rumahnya disebut orang yang meninggalkan sunnah yang merupakan cara Rasulullah saw, yang selalu dilaksanakannya dan syariatnya yang disyariatkan bagi ummatnya, dan maksudnya bukan sunnah yang hanya dianjurkan melaksanakannya bagi yang berkehendak saja, dan yang tidak berkehendak boleh meninggalkannya tidak sesat dan tidak pula sebagai bagian dari tanda-tanda kemunafikn, seperti meninggalkan shalat dhuha, shalat malam dan puasa sunnah senin dan kamis.
8. Dalil kedelapan : Apa yang diriwayatkn Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abi Sa’id Al Khudzry, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika mereka bertiga, maka hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, dan yang pling berhak menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaannya.” [Muslim dalam Al-Masajid wa Mawadli 627]. Dalil ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan berjama’ah dan perintahnya itu adalah wajib.
9. Dalil kesembilan : Bahwa Rasulullah menyuruh seseorang yang shalat sendirian di  belakang shaf untuk mengulangi shalatnya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para ahli sunnah, Abu Hatim ibnu Hibban dalam hadits shahihnya dan diperbaiki At-Tirmidzi. [Ahmad 2/228, Abu Dawud 682, Turmudzi 230 dan 231, dan dihasankan, Ibnu Majah1004, dan Ibnu Hibban 2198 dan 2199, semuanya dalam masalah shalat].
 Dari Ali bin Syaiban berkata, “Kami keluar hingga menghadap Rasululllah saw dan kami mengucapkan sumpah setia kami kepada beliau lalu kami shalat di belakang beliau.” Ia berkata, “Kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain lalu beliau mengqadha shalat, kemudian beliau lihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf, kemudia ia berhenti mendekatinya sampai ia menghadapinya kemudian berkata, “Ulangi shalatmu, tidak shalat bagi seseorang yang shalat di belakang shaf”.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Hibban dan pada Riwayat Imama Ahmad diriwayatkan, “Saya shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian Rasulullah saw melihat seorang shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau berhenti sehingga menemuinya dan bekata kepadanya, “Ulangi shalatmu, karena tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” [Ahmad 4/23, Ibnu Hibban 1003, dalam Az-Zawaid disebutkan, sanadnya shahih dan rawi-rawinya dapat dipercaya, serta dibenarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1569]. Ibnu Mundzir berkata, “Hadits ini ditetapkan oleh Ahmad dan Ishak.
Konteks dalil ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw membatalkan shalat seseorang yang keluar dari shaf sedang ia dalam keadaan berjama’ah dan menyuruhnya mengulangi shalatnya sedangkan beliau tidak pernah shalat menyendiri kecuali di tempat yang khusus. Maka shalat menyendiri dari jama’ah dan di luar tempat jama’ah adalah batal. Dijelaskan olehnya bahwa batasan menyendiri adalah shalat sendirian, kalaulah shalat sendirian itu sah, maka Rasulullah tidak akan menganggap shalatnya tidak sah atau dianggap tidak ada. Oleh karena itu, beliau menyuruh orang yang melakukan seperti itu untuk mengulangi shalatnya.
Pendapat orang-orang yang membatalkan wajibnya shalat berjama’ah adalah sebagai berikut: Anda tidak mungkin menggunakan hadits itu sebagai dalil kecuali setelah menetapkan batalnya shalat menyendiri dibelakang shaf. Ini merupakan pendapat yang rancu yang bertentangan dengan jumhur ulama, sementara ijma’ ulama telah menetapkan sahnya shalat wanita sendirian di belakang shaf, dan Rasulullah didatangi malaikat Jibril dan mengajarinya waktu-waktu shalat, Jibril maju dan Rasulullah berdiri di belakangnya, dan orang di belakang Rasulullah, kemudian shalat dzuhur ketika matahari bergeser dan mendatanginya ketika bayangan seperti ukuran dirinya, dan melakukan  seperti yang telah dilakukannya, maka Malaikat Jibril maju ke depan dan Rasulullah saw di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasulullah saw. Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i. [An-Nasa'i dalam Al-Mawaqit 1/255].
Rasulullah pernah melakukan shalat di belakang Jibril dengan mengikutiya.
Mereka mengatakan: Abu Bakar pernah melakukan ihram menyendiri di belakang shaf kemudian ia berjalan memasuki shaf dan Nabi saw tidak menyuruh untuk mengulanginya. [Al-Bukhari dalam Adzan 783].
Mereka juga mengatakan: Ibnu Abbs telah melakukan ihram di sebelah kiri Rasulullah saw, kemudian Rasulullah menariknya dan menempatkannya di sebelah kanan Rasulullah [Al-Bukhari dalam Adzan 699, Muslim dalam Shalat Al-Musafirin 763], dan Rasulullah tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya, bahkan membenarkan ihramnya yang sendirian, dan ini terjadi pada shalat nafl (sunnah). Dalam hadits Jabr dalam masalah fardhu disebutkan bahwa ia berdiri di sebelh kiri Rasulullah, kemudian ia menariknya dan menempatkannya di sebelah kanannya. [Muslim dalam Al-Zuhud wa Al-Raqa'iq dari haditsny yang panjan 3010].
Kemudian orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa yang menarik dari pertentangan terhadap hadits-hadits yang shahih dan yang jelas seperti itu adalah tidak adanya pertentangan antara hadits-hadits itu dari segi apapun.
Adapun pendapat kalian: Sesungguhnya ini adalah pendapat yang keliru dan rancu. Apakah hal ini bukan sesuatu yang rancu, sementara dalam diri Rasulullah saw terdapat sunnah-sunnahnya yang shahih dan jelas, meskipun ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggalkannya, meninggalkan sunnah-sunnah tersebut bukan berarti hal-hal tersebut tidak diketahui oleh orang-orang yang meninggalkannya, atau semacam ta’wil yang membolehkan untuk meninggalkannya bagi yang lainnya.
Maka, bagaimana mendahulukan seorang yang meninggalkan sunnah? Ini telah disebutkan oleh mayoritas dari kalangan pemuka tabi’in, mereka adalah Sa’id bin Jubair, Thawus, Ibrahim An-Nakha’i, dan yang lainnya seperti Hikam, Hamad, Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Waki’, dan juga Al-Auza’i – diceritakan oleh Thahawy – Ishak bin Rahawiyah, Imam Ahmad, Abu Bakar bin Mundzir, dan Muhammad bin Ishak bin Huzaimah. Maka mana letak kerancuan itu, sementara mereka mengatakan hal itu adalah sunnah?
Adapun bantahan Anda mengenai posisi wanita, maka itu adalah bantahan yang paling rusak, karena itu merupakan posisi wanita yang telah disyariatkan baginya, sehingga kalau sampai seorang perempuan berada di shaf laki-laki maka hal itu akan merusak shalat laki-laki yang berada di belakang wanita itu sebagaimana dikemukakan Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat itu ditemukan pada mazhab Ahmad.
Dikatakan juga bahwa kalaulah seorang wanita berdiri sendirian di belakang shaf wanita, maka sah shalatnya. Pendapat lain menyebutkan, Bukan seperti itu, tetapi seandainya seorang wanita berdiri sendiri di belakang shaf wanita yang lain, maka shalatnya tidak sah seperti halnya laki-laki menyendiri di belakang shaf laki-laki, demikian menurut Qadhi Abu Ya’la dalam tanggapannya, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw, “Tidak ada shalat bagi seseorang yang shalat di belakang shaf”. Dari hadits ini dipahami seandainya seorang wanit berdirian sendirian di belakang shaf laki-laki, maka shalatnya sah, tetapi tidak demikian jika ia menyendiri dari shaf wanita lainnya, hadits ini berlaku secara umum.
Adapun tentang kisah shalat Rasulullah saw di belakang Jibril, dan para sahabat di belakangnya, maka jawaban mengenai hal ini adalah bahwa kisah itu telah terjadi pada masa awal diperintahkannya shalat, yaitu ketika Jibril mengajari waktu-waktu shalat, sedangkan kisah Rasulullah saw yang memerintahkan kepada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian untuk mengulanginya pada masa belakang setelah kisah Jibril, maka itu adalah jawaban yang benar.
Menurutku masih ada jawaban yang lainnya, yaitu bahwa sesungguhnya Nabi saw pada waktu itu adalah Imam kaum muslimin, maka beliau berdiri di hadapan kaum muslimin. Beliau sendiria disempurnakan oleh Jibril, dan pada saat itu Jibril a.s lebih depan dengan tujuan agar lebih berhasil mengajari Nabi saw dibandingkan seandainya dia berdiri di samping Nabi saw. Sebagaimana Nabi saw pernah shalat bersama kaum muslimin, dan beliau berdiri di atas mimbar, dengan tujuan agar mereka (kaum muslimin) bisa melihat kesempurnaan shalat yang dilakukan beliau, dan agar mereka mengambil pelajaran (mencontohnya) shalatnya. Hal itu dilakukan dengan tujuan mendidik, dan beliau tidak melarang seseorang yang menjadi imam bagi orang lain, berdiri pada tempat yang lebih tinggi dari mereka (makmum).
Mengenai kisah Abu Bakar, kisah tersebut bukan menceritakan bahwa beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ sebelum beliau memasuki shaf (barisan shalat), tetapi semata-mata beliau menahan dengan cara seperti itu agar bisa tetap tegak dalam ruku’, dan tidak ada cara lain yang bisa dia lakukan selain dengan cara seperti itu.
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, tentang orang yang melakukan ruku’ sebelum masuk dalam shaf, kemudian dia berjalan sambil ruku’ sebelum masuk shaf, setelah imam mengangkat kepalanya dari ruku’. Dalam masalah ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, Hal itu dianggap sah secara mutlak, alasannya berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Nabi saw tidak memerintahkan untuk mengulang shalatnya, dan tidak memintanya untuk menjelaskan apakah dia memasuki shaf sebelum mengangkat kepalanya dari ruku’ atau tidak, seandainya hal ini dianggap menyalahi, maka Nabi saw akan meminta penjelasan kepadanya.”
Sa’id bin Manshur dalam kitab sunannya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Sesungguhnya dia melakukan ruku’ sebelum memasuki shaf, kemudian berjalan sambil ruku’ dan melakukannya berulang, sehingga dia dapat memperkirakan sudah sampai kepada shaf atau tidak.” (Imam Malik “Al-Muwaththa” 1/165, Ath-Thahawi “Syahru Ma’anil Atsar” 1/398, dan Al Baihaqi “As-Sunanul Kubra” 2/90).
Kedua, Sesungguhnya hal itu tidak sah, berdasarkan nash hadits riwayat Ibrahim bin Harits dan Muhammad bin Hakam, dia membedakan antara orang yang melakukan ruku’ sebelum memasuki shaf dengan orang yang yang melakukan ruku’ di dalam shaf, karena orang yang tidak melakukan ruku’ dalam shaf dianggap tidak dihitung raka’atnya. Hal ini disamakan dengan orang yang melakukan ruku’ padahal imam sudah sujud. Menurut sebagian para sahabt hadits ini shahih.
Ketiga, seandainya dia tahu bahwa hal itu dilarang, maka shalatnya dianggap tidak sah, jika tidak mengetahui, maka shalatnya dianggap sah berdasarkan sikap Abu Bakar, dan sabda Nabi saw, “Kamu tidak perlu mengulanginya”. Larangan itu apabila adanya kerusakan, akan tetapi hal itu dihilangkan kepada orang yang bodoh, dengan tidak diperintahkan mengulanginya, dan keadaan semacam inilah yang dialami Abu Bakar.
Adapun kisah Ibnu Abbas dan Jabir dalam meninggalkan urusan keduanya dengan memulai shalat, dan keduanya takbiratul ihram secara terpisah. Hal ini pertama-tama dilakukan bukan ketika keduanya telah melakukan shalat, tetapi keduanya berdiri disamping Rasulullah saw, kemudian Rasulullah saw memindahkan keduanya di saat permulaan berdiri keduanya. Seandainya diperkirakan bahwa takbiratul ihram yang dilakukan keduanya seperti itu, maka orang yang melakukan takbiratul ihram sendirian, takbiratul ihram dianggap sah, dan dimasukkan dalam shalat, akan tetapi dia melakukannya setelah ruku’, sehingga yang dihitungan adalah ruku’nya itu sendiri. Akan tetapi yang satu lagi tidak seperti itu, orang lain yang berdiri bersamanya itu melakukan takbiratul ihramnya sebelum ruku’ , sehingga shalatnya dianggap sah. Seandainya kita menganggap bahwa takbiratul ihramnya dua makmum itu harus serempak dalam memulai takbir dan mengakhirinya, maa seseorang tidak akan melakukan takbiratul ihram, sehingga harus sepakat terlebih dahulu dengan orang ada disampingnya. Hal ini merupakan perbuatan yang dirasakan sangat berat dan menyusahkan. Dengan demikian maka tidak ada seorangpun yang menganggapnya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
10. Dalil kesepuluh : hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sunannya,dan Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, dari haditsnya Abi Darda, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Tiada terdapat tiga orang berkumpul di kampung yang tidak dikumandangkan adzan dan tidak didirikan shalat berjama’ah, melainkan mereka telah dijajah oleh Syaithan, maka kerjakanlah olehmu shalat berjama’ah, karena serigala itu hanya dapat menerkam binatang (kambing) yang terpisah jauh dari kawan-kawannya.” (Abu Dawud “Bab Shalat” 574, Imam Ahmad 5/196, dan An-Nasa’i “Bab Imamah” 2/106-107).
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits tersebut: sesungguhnya Rasulullah saw mengabarkan tentang menguasainya syaithan kepada mereka dengan sebab meninggalkan shalat berjama’ah yang ditandai dengan adzan dan iqamah. Seandainya shalat berjama’ah itu dianggap sunat sehingga seseorang boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka tentu syaithan tidak akan menguasai orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan yang meninggalkan tanda-tanda shalat berjama’ah tersebut.
11. Dalil kesebelas : hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan beliau menganggap hadits ini shahih, dari haditsnya Abi Sya’tsail Maharibi, dia berkata, “Kami duduk di masjid, kemudian seorang muadzin mengumandangkan adzan. Seorang laki-laki berdiri dan berjalan keluar dari masjid, kemudian pandangan Abu Hurairah mengikutinya sampai orang tersebut keluar dari masjid. Abu Hurairah berkata, “Orang itu benar-benar telah berdosa kepada Abal Qasim (Rasulullah saw).” Dalam satu riwayat dikatakan, “Saya mendengar Abu Hurairah berkata ketika dia melihat seseorang yang dengan tergesa-gesa keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan: “Orang itu benar-benar telah berdosa kepada Abal Qasim (Rasulullah saw). Sebagaimana kedua hadits ini telah dikemukakan dalam pembahasan hukum shalat berjama’ah.
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits ini adalah sesungguhnya Abu Hurairah telah mengkatagorikan orang tersebut berdosa kepada Rasulullah saw disebabkan dia keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan, karena dia meninggalkan shalat berjama’ah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa shalat berjama’ah itu sunat, maka Abu Hurairah tidak akan menganggap orang yang keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan dan dia shalat sendiri itu telah berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Mundzir telah berhujah (berargumentasi) dengan hadits ini dalam kitabnya. Ketika dia membahas kewajiban shalat berjama’ah dan dia berkata, “Seandainya seseorang itu bebas memilih dalam meninggalkan shalat berjama’ah atau melakukannya, maka Abu Hurairah tidak akan menganggapnya telah berdosa orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak diwajibkan kepadanya untuk melakukannya. Dan orang yang mengatakan bahwa shalat berjama’ah itu sunat, jika dia mau lakukan dan jika dia tidak mau tinggalkan, maka seseorang akan diperbolehkan keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan dan iqamah, bahkan dia akan diperbolehkan duduk tanpa melakukan shalat berjama’ah dengan imam dan jama’ah yang lainnya, maka apabila mereka mendirikan shalat, dia boleh shalat sendirian. Namun seandainya Rasulullah saw dan para sahabatnya melihat orang yang melakukan perbuatan semacam ini, maka beliau dan para sahabatnya benar-benar akan melarangnya. Bahkan beliau telah mengingkari (melarang) perbuatan yang masih di bawah perbuatan itu, yakni beliau melarang seseorang yang tidak mau melakukan shalat berjama’ah, karena sudah merasa cukup dengan shalat yang dia lakukan ketika dalam perjalanan, Beliau bersabda, “Apa yang menghalangi kamu shalat bersama kami? bukankah kamu seorang muslim?”. Sebagaimana hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Rasulullah saw telah memerintahkan shalat berjama’ah kepada orang yang telah melakukan shalat sendirian, kemudian dia datang ke masjid yang sedang dilakukan shalat berjama’ah. Beliau bersabda, “Jika kamu berdua telah melakukan shalat dalam perjalanan kamu berdua, kemudian kamu berdua mendatangi suatu masjid yang di dalamnya sedang dilakukan shalat berjama’ah, maka shalatlah kamu berdua beserta jama’ah yang lainnya, karena shalat tersebut bagi kamu menjadi shalat sunnat. ” (At-Turmudzi “Bab Shalat” 219, beliau menganggap hadits ini hasan shahih, An-Nasai “Bab Imamah” 2/112-113 dan Imam Ahmad 4/160-161).
12. Dalil keduabelas : Ijma’ para sahabat r.a. dan kami akan mengungkapkan tentang nash kesepakatan tersebut, Yaitu:
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud telah kami kemukakan, kami berpendapat bahwa tidak ada yang menolak perkataan Ibnu Mas’ud itu selain orang munafik yang benar-benar telah diketahui kemunafikannya.
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah telah menceritakan kepada kami, dari Abu Mus Al-Hilali, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi pangilan tersebut itu tanpa alasan syar’i, maka tidak ada shalat baginya.” (Ibnu Hazm, dalam “Al-Mahali” 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, Mas’ar telah menceritakan kepada kami, dari Abi Al-Hushain, dari Ai Burdah, dari Abi Musa Al-Asy’ari, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka tidak ada shalat baginya”. (Hadits riwayat Al-Hakim 1/246, dia telah menshahihkan hadits ini, Imam Adz-Dzahabi dan Imam Baihaqi telah menyepakatinya sebagai hadits marfu’ (sanadnya sampai kepada Nabi saw) dan mauquf(sanadnya sampai kepada sahabat) 3/174 dan lihat kitab “Majmu’uz Zawaid” 2/32).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan dari Abi Hayan at-Taimi dari bapaknya dari Ali r.a, dia berkata, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid“. Dikatakan, “Siapakah yang dimaksud dengan orang yang bertetangga dengan masjid itu?” Ali menjawab, “Orang yang mendengar panggilan shalat (adzan)”. (Hadits Riwayat Abdur Razzaq 1/497, Baihaqi 3/57 dan 174, dan Al-Hafizh telah mendha’ifkan hadits tersebut dalam kitab “Takhlishul Habir” 2/32).
Sa’id bin Manshur berkata, Hasyim telah menceritakan kepada kami, Manshur telah mengabarkan kepada kami dari Hasan bin Ali, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak mendatanginya, maka shalatnya tidak akan melewati kepalanya (tidak akan diterima), kecuali bagi orang yang mempunyai alasan syar’i.”
Abdur Razzaq berkata, dari Anas, dari Abi Ishaq, dari Harits, dari Ali, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), dan dia termasuk orang yang bertetangga dengan masjid serta dalam keadaan sehat, tidak ada alasan syar’i, maka tidak ada shalat baginya (kecuali di masjid).” (Abdur Razzaq 11/498, Ad-Daaruquthni 1/420 dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki’ berkata, Dari Abdir Rahman bin Hushain, dari Abi Najih Al Maki, dari Abi Hurairah, dia berkata, “Dua telinga keturunan Adam yang dimasuki peluru yang menyakitkan lebih baik daripada orang yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut.” (Al-Mahali 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan dari Manshur dari ‘Adi bin Tsabit dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin r.a. dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan) kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syar’i, maka dia tidak menemukan kebaikan dan dia tidak termasuk orang yang menghendaki kebaikan tersebut”. (Abdur Razzaq 1/498, dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki’ berkata, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari ‘Adi bin Tsabit, dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syar’i, maka tidak ada shalat baginya.” (Ibnu Majah 793, Ibnu Hibban 2064, Ad-Daruquthni 1/420, dan Al-Baihaqi 3/57).
Apakah Berjama’ah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak.
Apakah berjama’ah itu merupakan syarat sah shalat atau tidak? Dalam menanggapi pertanyaan tesebut, terdapat dua pandangan yang tepat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu (kewajiban), dan berdosa meninggalkannya. Dan beban itu baru akan terlepas dengan melakukan shalat berjama’ah itu sendiri. Pendapat ini banyak dianut oleh para ulama mutaakhirin dan dari para pengikut Imam Ahmad. Dalam masalah ini Imam Ahmad bertitik tolak pada pendapat Imam Hanbal yang mengatakan bahwa, “Memenuhi panggilan shalat itu hukumnya fardhu.” Seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa, “Hal itu hukumnya sunnat, dan saya melakukannya di rumahku, seperti shalat witir dan lain-lain. ” Maka hal ini bertentangan dengan hadits, dimana melakukan shalat witir dan shalat sunnat lainnya hukumnya boleh.
Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan Az-Za’farani di dalam kitab Al-Iqna’, yang mengatakan bahwa, “Berjama’ah itu merupakan syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya orang yang melakukannya sendirian.” Sebagimana telah diceritakan Al Qadhi dari sebagian para sahabat. Dan hal ini telah dipilih oleh Abul Wafa bin ‘Aqil dan Abul Hasan At-Tamimi. Dan pendapat tersebut adalah pendapatnya Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazam berkata, “Pendapat tersebut adalah pendapat seluruh pengikut aliran kami.” (Al Mahali 4/196)
Dan kami akan mengungkap argumentasi kedua pendapat tersebut:
Orang-orang yang mensyaratkan berjama’ah dalam shalat berkata, “Seluruh dalil yang telah kami sebutkan yang menerangkan tentang kewajiban bejama’ah, menunjukkan bahwa berjama’ah itu merupakan syarat sah dalam shalat. Karena apabila berjama’ah merupakan kewajiban, maka meninggalkannya bagi para mukallaf (akil baligh) menyebabkan dia masih dalam ikatan kewajiban tersebut (harus melakukannya).
Mereka berkata, “Seandainya shalat itu dianggap sah tanpa berjama’ah, maka para sahabat Rasulullah saw tidak akan berkata, “Tidak ada shalat baginya (yang tidak berjama’ah).” Dan seandainya shalat itu sah tanpa berjama’ah, maka Rasulullah saw tidak akan bersabda, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka shalat yang dia lakukan tidak akan diterima.” Ketika diterimanya shalat itu dikaitkan dengan berjama’ah, maka hal itu menunjukkan kepada syarat sahnya shalat. Sama halnya dengan ketika diterimanya wudhu itu dikaitkan dengan keharusan bersuci dari hadats, maka hal itu secara otomatis menjadi syarat sahnya wudhu.”
Mereka berkata, “Dan tidak diterimanya itu, baik karena tidak  dilakukannya satu rukun atau satu syarat, tidak secara otomatis menolak diterimanya shalat dari seorang hamba yang sedang melarikan diri. Dan shalatnya peminum khamar (minuman keras) tidak diterima selama empat puluh hari, terhalangnya diterimanya shalat pada orang tersebut disebabkan perbuatannya yang melakukan hal yang diharamkan, yang menyertai shalat, maka menjadi batal pahala shalatnya.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalatnya orang yang munfarid (shalat sendiri), tentu Ibnu Abbas tidak akan berkata, “Sesungguhnya dia (orang yang melakukan shalat sendirian) akan masuk neraka.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalat orang yang melakukan shalat sendiri, tentu berjama’ah itu tidak akan diwajibkan. Dan hanya sah ibadah seorang hamba itu apabila melakukan hala-hal yang diperintahkan kepadanya. Dan dalil-dalil yang mewajibkan tentang itu secara lengkap telah kami kemukakan.”
Adapun kelompok yang menolak pendapat tersebut di atas, terbagi ke dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya sunnat. Jika berkehendak, kerjakan, dan jika tidak berkehendak, tinggalkan.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu’ kifayah. Jika ada suatu kelompok yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu fardhu ‘ain. Namun demikian masih dianggap sah shalat yang tidak dilakukan secara berjama’ah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari haditsnya Ibnu Umar, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendiri dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat.” (Al Bukhari “Al-Adzan” 645, dan Muslim  “Al-Masajid” 650).
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari Abi Hurairah dari Nabi saw, “Shalat seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan  dari shalat sendirian di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnak wudhu, kemudian dia keluar menuju masjid untuk melakukan shalat, tiada dia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu dosa, dan bila ia shalat, selalu dido’akan oleh para malakaikat selamat dia berada di tempat shalatnya itu tidak berhadats, Malaikat berdoa’a, Allahumma sholli ‘alaihi, Allahummar hamhu, Ya Allah limpahkan rahmat kepadanya, Ya Allah kasihinilah dia. Dan dia tetap dianggap shalat selama dia menantikan shalat.” (Al-Bukhari “Al-Adzan” 647 dan Muslim “Al-Masajid” 649).
Mereka berkata, “Seandainya shalat sendiri itu dianggap batal, maka tidak akan ada perbandingan keutamaan antara shalat sendiri dengan shalat berjama’ah, karena tidak logis membandingkan antara yang sah dengan yang batal.”
Mereka berkata, “Dalam shahih Muslim dari haditsnya Utsman bin Affan, sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjama’ah, maka seakan-akan dia shalat sat malam penuh.”(Muslim “Al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah” 656).
Mereka berkata, “Maka telah diserupakan pelaksanaan shalat berjama’ah dengan sesuatu (shalat) yang bukan wajib, dan hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupakan seperti hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupai, atau tanpa adanya penyerupan hukum dengan tujuan sebagai penguat (ta’kid).”
Mereka berkata, “Yazid bin Al-Aswad, dia berkata, “Saya hadir bersama Nabi Saw dalam suatu keperluan, kemudian saya shalat Subuh bersama beliau di masjid Khaif (di Mina), setelah selesai shalat beliau berpaling ke belakang, dan beliau melihat ada dua orang yang tidak melakukan shalat, di belakang suatu kaum, kemudian beliau memanggil keduanya, dan keduanya menghadap beliau dalam keadaan gemetar daging rusuknya. Beliu bersabda kepada mereka, “Apa yang menghalangi kamu berdua shalat bersama kami?” Mereka menjawab, “Kami telah shalat di tempat kami.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu berbuat demikian. Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian kamu bertemu imam yang belum shalat, maka hendaklah amu shalat bersamanya, karena yang demikian itu jadi (shalat) sunnat buatmu.” (An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/112-123, Abu Dawud “Al-Shalat” 575, dan At-Turmudzi “Shalat” 219, dan beliau menganggap hadits tersebut).
Mereka berkata, “Seandainya tidak sah shalat yang pertama (shalat dua orang tersebut di atas, yang dilakukan di tempat tinggalnya), tentu shalat yang kedua tidak akan dianggap sebagai shalat sunnat.”
Dari Mahjan bin Al-Adra’, dia berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw dalam waktu shalat, kemudian beliau shalat dan saya tidak shalat. Beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu tidak shalat?” Saya menjawab, “Ya Rasulullah, say telah shalat dalam perjalanan, setelah itu saya datang kepadamu.” Beliau bersabda, “Apabila kamu datang, maka shalatlah kamu beserta mereka dan jadikanlah shalatmu itu sebagai shalat sunnat.” (H.R Imam Ahmad). Sebagaimana hadits tersebut telah dikemukakan sebelumnya.
Dalam satu pokok bahasan telah dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abi Dzar, dan Abdullah bin Umar. Dalam hadits Ibnu Umar dikatakan, “Dari Sulaiman seorang budak yang dimerdekakan oleh Maimunah, dia berkata, “Saya mendatangi Ibnu Umar yang sedang duduk di ubin, sedangkan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Saya berkata, “Apa yang menghalangi engkau shalat bersama orang-orang?” Dia menjawab, “Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian shalat dua kali dalam satu hari untuk satu shalat.” (Abu Dawud “Al-Shalat” 579, An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/114, Ahmad 2/19 dan Ahmad Syakir telah menshahihkan hadits tersebut 4689. Pengertian yang dimaksud: Mengulangi satu shalat dengan dua kali berjama’ah).
Kelompok yang mewajibkan berjama’ah berkata, “Keutamaan itu tidak mengharuskan lepasnya tanggungan (kewajiban) dari segala segi, baik bersifat mutlak atau bersifat membatasi. Karena keutamaan itu merupakan hasil perbandingan antara yang diunggulkan dengan yang diungguli dari segala segi. Seperti firman Allah,  أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ يَوۡمَٮِٕذٍ خَيۡرٌ۬ مُّسۡتَقَرًّ۬ا وَأَحۡسَنُ مَقِيلاً۬  ”Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24). Dan firman Allah ta’ala, قُلۡ أَذَٲلِكَ خَيۡرٌ أَمۡ جَنَّةُ ٱلۡخُلۡدِ Katakanlah, Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik atau surga yang kekal…” (Al-Furqan: 15). Dan masih banyak firman Allah yang semacam itu.
Keberadaan shalat sendiri itu merupakan satu bagian dari dua puluh tujuh bagian dari shalat secara keseluruhan, yang tidak bisa menggugurkan kefardhu’an shalat berjama’ah. Dan keberadaan shalat berjama’ah  yang dianggap perbuatan sunnat, hanya merupakan satu segi dari beberapa segi yang ada pada shalat berjama’ah. Tujuannya adalah melaksanakan kewajiban keduanya dan diantara keduanya itu ada keutamaan yang dikandung oleh keduanya. Dua orang laki-laki yang berdiri dalam shaf (barisan shalat) yang sama dan diantara shalat keduanya itu terdapat yang lebih utama, laksana antara langit dan bumi.
Dalam beberapa kitab Sunan diungkapkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan shalat, maka pahalanya tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, sepertlimanya, sehingga mencapai sepersepuluhnya.” (“Al-Musnad” 4/319 dan 321, Abu Dawud “Al-Shalat” 796, An-Nasa’i dalam kitab Al-Kubra dari Tuhfatul Asyraf 10356 dan Ibnu Hibban “Al-Shalat” 1889).
Jika kita menganalisa dua orang yang sama-sama melakukan shalat fardhu, dimana shalat salah seorang di antara keduanya itu lebih utama dari shalat yang lainnya dengan perbandingan sepuluh pahala, padahal keduanya sama-sama melakukan shalat fardhu. Begitu juga perumpamaan shalat sendiri dengan shalat berjama’ah.
Lebih jauh Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagian (pahala) dari shalatmu, kecuali apa yang engkau pikirkan (mengerti) dari shalat itu, apabila seseorang shalat dan dia tidak mengerti dari shalatnya itu, maka dia hanya mendapatkan satu bagian, dan pahala baginya sesuai dengan ukuran yang satu bagian itu, walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban). Begitu juga dengan shalat yang dilakukan sendirian, baginya hanya mendapat satu bagian (pahala), walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban) shalat.”
Perumpamaan shalat tersebut, oleh pembuat syara’ (Allah) tidak dinamakan dengan sah. Hal itu hanya diistilahkan oleh para fuqaha (ahli hukum Islam). Karena keabsahan yang mutlak itu adalah terciptanya pengaruh dari suatu perbuatan dan tercapainya apa yang dikehendaki. Hal ini telah meniadakan pengaruhnya yang sangat besar dan tidak tercapainya apa yang dikehendaki secara jelas. Dengan demikian maka hal itu dianggap jauh sekali dari kebenaran dan kesempurnaan, yaitu dengan ketentuan terhindarnya dari siksaan, kalaupun perbuatan itu menghasilkan sesuatu berupa pahala, namun hanya satu bagian. Hal ini semata-mata ucapan orang-orang yang tidak mau menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat.
Adapun orang-orang yang menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat dan tidak sah shalatnya seseorang yang tidak berjama’ah. Maka jawabannya adalah keutamaan itu ada apabila yang dibandingkan itu antara dua shalat yang sah. Dan shalat seseorang yagn dilakukan sendirian, hal itu baru dianggap sah apabila adanya alasan-alasan syar’i. Adapun apabila tidak ada alasan syar’i maka shalatnya dianggap tidak sah. Sebagaimana telah dikatakan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Seandainya mereka menganggapi pernyataan tersebut di atas, mereka akn menampakkan kembali pertentangannya, dengan mengatakan bahwa, “Sesungguhnya orang yang terkena alasan syar’i, tetap baginya mendapatkan pahala yang sempurna.” Mereka akan menjawab dengan mengatakan, “Sesungguhnya dia itu tidak berhak mendapatkan pahala yang sempurna dari segi perbuatannya kecuali hanya mendapat satu bagian pahala.” Adapun kesempurnaan pahala itu bukan dilihat dari segi perbuatannya, tetapi dilihat dari segi niatnya. Jika dia terbiasa shalat berjama’ah, kemudian dia sakit atau dipenjara atau sedang berpergian dan dia tidak bisa melakukan berjama’ah karena adanya alasan syar’i tersebut. Dengan demikian maka sempurnalah pahala baginya. Padahal shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalatnya itu apabila dilihat dari segi kedua perbuatan itu.
Mereka berkata, “Hal ini sudah pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena nash-nash hadits shahih sangat jelas sekali, bahwa tidak ada shalat bagi orang yang mendengar seruan adzan, kemudian dia shalat sendirian. Maka yang dimaksud dengan baginya mendapat satu bagian pahala itu bagi orang yag melakukan shalat sendiri karena adanya alasan syar’i?”
Mereka berkata, “Allah ta’ala mengutamakan orang yang mampu melaksanakan dari orang yang tidak mampu, walaupun Allah tidak sampai menyiksanya. Hal itu semata-mata karena Allah memberikan keutamaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Dalam shahih Bukhari dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat seseorang yang dilakukan dambil duduk. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang melakukannya sambil dudu, maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri, dan barangsiapa yang melakukannya sambil tiduran, maka baginya setengah pahala dari pahala orang yang duduk.” (Bukhari “Mengqoshor Shalat” 1115).
Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang melakukannya karena adanya alasan-alasan syar’i. Jika tidak ada alasan syar’i, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun. Apabila shalat yang dilakukannya shalat sunnat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sunnat. Karena tidak pernah satu hari pun dalam setahun Rasulullah saw dan para sahabat Nabi saw yang nota bene senang melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan, tidak pernah melakukan hal itu. Oleh karena itu mayoritas ulama melarang sambil tiduran kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sambil duduk. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda kepada Imran, “Shalatlah duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil tiduran.” (Bukhari 1117). Imran bin Hushain ini adalah perawi kedua hadits tersebut dan dia juga yang menanyakan kedua permasalahan tersebut kepada Nabi saw.
Adapun argumentasi kamu yang bertitik tolak dari haditsnya Utsman bin Affan, “Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam.” Termasuk argumentasi yang cacat. Dan nampak sekali dalil yang bertentangan bagi kamu seperti dalam gambaran sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan ditambah dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” (Muslim “Puasa” 1164, At-Turmudzi “Puasa” 759, Ibnu Hibban “Puasa” 1716 dan Abu Dawud “Puasa” 2433 dan lafadz hadits tersebut di atas adalah lafadznya Abu Dawud). Puasa setahun penuh itu bukan wajib. Telah diserupakan perbuatan (puasa setahun) itu dengan puasa yang wajib. Bahkan yang benar itu adalah sesungguhnya berpuasa setahun penuh itu hukumnya adalah makruh. Dengan demikian telah diserupakan puasa yang makruh (puasa setahun penuh) dengan puasa yang wajib (puasa Ramadhan). Maka tidak dilarang menyerupakan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang disunnatkan dari segi pelipatgandaan pahala terhadap sesuatu yang wajib yang sedikit sehingga pahala dari perbuatan wajib yang sedikit itu mencapai (sama) dengan pahala perbuatan sunnat yang banyak.
Begitu juga argumentasimu yan bertitik tolak kepada haditsnya Yazid bin Al-Aswad, Mahjan bin Al-Adra’, Abi Dzar dan Ubadah. Sebenarnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengemukakan bahwa, “Sesungguhnya seseorang telah shalat sendirian, padahal dia mampu melakukan shalat berjama’ah.” Seandainya hal itu dikabarkan kepada Nabi saw, maka beliau tidak akan menetapkannya, dan beliau akan mengingkarinya. Begitu juga Ibnu Umar tidak pernah mengatakan, “Saya shalat sendiri, padahal saya mampu melakukan shalat berjama’h.”
Dapat kami katakan bahwa Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah di saat dia bisa melakukannya. Dan kami katakan sebagaimana para sahabat Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya tidak ada shalat baginya.” Seandainya mereka itu melakukan hal itu, maka harus dilihat dari dua segi. Pertama, sesungguhnya mereka melakukan shalat berjama’ah dengan jama’ah lain, di luar jama’ah yang biasa mereka lakukan. Atau hal itu mereka lakukan karena adanya alasan-alasan syar’i pada saat datangnya waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sendirian karena ada alasan syar’i kemudian alasan syar’i itu hilang setelah selesai melakukannya (shalat), maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Sebagaimana tidak perlu mengulang shalatnya kalau seseorang shalat dan bersuci (berwudhu’)-nya dengan ta’yamum, atau seseorang yang shalat sambil duduk karena sakit, kemudian alasan-alasan syar’i tersebut hilang setelah selesai melakukan shalatnya. Begitu juga tidak perlu mengulang shalat orang yang melakukan shalat dalam keadaan telanjang dan setelah selesai shalat dia menemukan penutup aurat.
Mereka berkata, “Hukum-hukum syara’ (agama) telah menunjukan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu bagi setiap orang. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa segi:
Pertama, sesungguhnya menjama’ shalat karena alasan tujuan hukumnya jaiz (diperbolehkan), hal ini semata-mata untuk menjaga berjama’ah. Jika bukan ditujukan untuk menjaga berjama’ah, maka sangat mungkin sekali setiap orang yang ada di rumah melakukan shalat dengan sendiri-sendiri. Seandainya shalat berjama’ah itu hukumnya sunnat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan yang wajib, dan mendahulukan shalat (jama’ taqdim) hanya karena pertimbangan semata-mata.
Kedua, sesungguhnya orang yang sakit yang tidak mampu berdiri dan dalam shalat berjama’ah dan dia mampu berdiri dalam shalat sendirian, maka shalatlah dia dengan berjama’ah walaupun tidak sambil berdiri. Mustahil sekali meninggalkan satu rukun shalat, hanya karena pertimbangan sunnat semata-mata.
Ketiga, sesungguhnya shalat berjama’ah dalam kondisi ketakukan dilakukan dengan cara mafaraqah (berpisah dari shalatnya) imam dan mereka (si makmum) melakukan beberapa hal (perbuatan) dalam shalat tersebut dan pada pertengahan shalat si makmum meninggalkan imamnya dalam keadaan sendiri (sedangkan si makmum menyelesaikan shalatnya). Hal ini dilakukan semata-mata supaya terlaksananya shalat berjama’ah. Padahal sangat memungkinkan sekali seandainya mereka melakukan shalat secara sendiri-sendiri tanpa harus melakukan berjama’ah. Mustahil sekali melakukan hal ini dan meninggalkan perbuatan yang lainnya hanya semata-mata pertimbangan sunnat semata yang nota bene perbuatan tersebut terserah mau dikerjakan atau tidak. Dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk.
Apakah Masjid ditentukan untuk melaksanakan shalat berjama’ah atau tidak?
Apakah shalat berjama’ah itu boleh dilakukan di rumahnya atau mesti di masjid? Dalam menjawab permasalahan tersebut pada dasarnya ada dua pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
pertama, shalat berjama’ah itu boleh dilakukan di rumah. Pendapat ini dianut oleh madzhab Hanafi dan madzhab Maliki dan pendapat ini pun merupakan salah satu pendapat yang dianut oleh pengikut madzhab Syafi’i.
kedua, shalat berjama’ah itu tidak boleh dilakukan di rumah kecuali ada alasan syar’i.
Adapun pendapat yang ketiga hanya penambah dari pendapat yang pertama yang khusus dianut oleh pengikut madzhab Syafi’i. Menurut pendapat yang ketiga adalah shalat berjama’ah yang dilakukan di masjid itu hukumnya fardhu kifayah.
Pendapat yang pertama didasarkan kepada hadits yang berkaitan dengan, “Dua orang laki-laki yang melakukan shalat dalam perjalanan.” dimana Nabi saw menganggap shalat berjama’ah (yakni shalat kedua orang setelah selesai melakukan shalat sendirian) sebagai shalat sunnat bagi kedua orang tersebut, seandainya keduanya ikut serta pada waktu itu mengerjakannya di masjid bersama-sama dengan Nabi saw. Rasulullah saw tidak mengingkari keabsahan shalat yang dilakukan oleh keduanya dalam perjalanan. Begitu juga yang dikatakan oleh hadits Mahjan bin Al-Adra’ dan hadist Abdullah bin Umar, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, “Nabi saw adalah sebaik-baiknya manusia dari segi akhlaknya, terkadang ketika datang waktu shalat beliau masih berada di rumah kami., kemudian beliau memerintahkan untuk menghamparkan permadan, menyapu bawahnya dengan mengepelnya, kemudian beliau berdiri dan kami berdiri di belakangnya dan beliau shalat bersama kami.” (Bukhari “Al-Shalat” 380 dan Muslim “Al-Masajid” 659).
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah saw jatuh dari tempat tidur, maka robek sikut tangannya yang sebelah kanan, kemudian kami masuk ke rumahnya dengan tujuan menengok beliau, tidak lama kemudian datang waktu shalat, maka beliau shalat sambil duduk.” (Bukhari “Al-Adzan” 689 dan Muslim “Al-Shalat” 411).
Dan masih dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi sawa, masjid apa yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?” Beliau menjawab, “Masjidil Haram, kemudian Masjidil Aqsa, kemudian tempat dimana saja kamu mendapati waktu shalat, maka shalatlah kamu, karena tempat itu menjadi masjid.” (Bukhari “Bab Hadits-hadist para Nabi” 3425 dan Muslim “Al-Shalat” 520).
Dalam satu hadits shahih dari Nabi saw, beliau bersabda, “Seluruh permukaan bumi yang bersih bagiku diperbolehkan untuk dijadikan sebagai masjid dan alat bersuc.” (Bukhari “At-Tayammum” 335 dan Muslim “Al-Masajid” 521).
Pendapat kedua didasarkan kepada beberapa hadits yang menunjukan wajibnya shalat berjama’ah kaerna sesungguhnya perintah mendatangi masjid dalam hadits-hadits tersebut jelas sekali.
Dalam “Musnad” Imam Ahmad, dari Ibnu Ummi Maktum, dia berkata, “Rasulullah saw datang ke suatu masjid, beliau melihat kaum sedikit sekali, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya aku ingin sekali menyuruh sesorang untuk mengimami orang-orang, kemudian aku pergi keluar dan aku tidak akan membiarkan orang-orang yang tinggal dalam rumahnya dan tidak datang shalat, kecuali aku akan membakar rumah mereka dan sekalian dengan mereka.” Dan dalam lafadz hadist Abu Dawud dikatakan, “Kemudian aku mendatangi suatu kaum yang melakukan shalat-shalat di rumah-rumah mereka tanpa alasan (syar’i), maka akan aku bakar mereka dan rumah-rumah mereka.” Ibnu Ummi Maktum – seorang laki-laki buta – berkata kepada Rasulullah saw, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw menjawab, “Aku tidak akan mengizinkanmu.” Sebagaimana hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Ibnu Mas’ud berkata, “Seandainy kamu shalat di rumah-rumahmu sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat (berjama’ah) dan melakukannya di rumah, berarti kamu telah meninggalkan sunnah (kebiasaan) Nabimu dan jika kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu sesat. ” Sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebelumnya.
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, “Nabi saw telah mendatangi suatu kaum yang sedang shalat, beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau meninggalkan shalat (berjama’ah)?” Mereka menjawab, “Ada air (banjir) yang menghalangi kami. ” Beliau bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.” (HR Darul Quthni. Namun hadits ini dianggap dha’if).
Pengertian tentang hadits tersebut sebagaimana telah dijelaskan dari Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya. Hal ini dapat dilihat kembali dalam dalil kedua belas tentang hukum shalat berjama’ah. Adapun mengenai shah dan tidaknya shalat orang yang meninggalkan shalat (berjama’ah di masjid) dan melakukannya di rumah tanpa alasan syar’i terdapat dua pendapa, yaitu:
Abul Barakat dalam syarah kitabnya berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat (berjama’ah di masjid) dan melakukan berjama’ahnya di rumah, maka shalatnya tidak sah apabila dilakukan tanpa alasan syar’i.” Hal ini didasarkan kepada pendapat yang dipilih oleh Ibnu Aqil dalam pembahasan hukum orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Dia telah memilih nahyi (larangan) dan dia memperkuat pendapatnya itu dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.” Karena berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Shalat seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan dari shalatnya yang dilakukan di rumah dan di pasar dengan dua puluh lima kali lipat.” Dia menganggap sabda Rasulullah saw, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid”, menunjukkan tidak adanya kesempurnaan sama sekali di antara keduana (shalat sendiri dan shalat berjama’ah yang dilakukan di rumah).
Abul Barakat berkata, “Riwayat hadits yang pertama yang dipilih oleh teman-teman kami, menganggap bahwa mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah itu hukumnya tidak wajib. Pendapat ini menurut saya jauh sekali dari kebenaran jika melihat segi lahiriah teks hadits, karena shalat (berjama’ah) di masjid itu merupakan syi’ar dan simbol terbesar agama Islam. Dan meninggalkannya berarti secara total telah menghancurkan syi’ar agama tersebut dan menghilangkan pengaruh yang mendasar dari pelaksanaan shalat yang berdampak pada berbagai tingkah laku. Dengan demikian maka Abdullah bin Mas’ud telah berkata, “Seandainya kamu shalat di rumah-rumahmu, sebagaimana shalatnya orang yang tidak datang (ke masjid) dan melakukannya di rumahnya, berarti kamu telah meninggalkan sunanh Nabimu dan jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu berarti kamu telah sesat.”
Abu Barakat berkata, “Sessungguhnya pengertian dari riwayat hadits itu – hanya Alla yang Maha Tahu -  sesungguhnya mengerjakan shalat di rumah diperbolehkan bagi seseorang jika di masjid sudah ada yang melaksanakannya, maka shalat yang dilakukan di masjid itu hukumnya fardhu khifayah menurut riwayat ini. Sedangkan menurut riwayat lain hukumnya fardhu ‘ain.”
Abu Barakat berkata, “Bertitik tolak pada pendapat tersebut, maka boleh menjama’ dua shalat disebabkan oleh hujan deras. Seandainya yang diwajibkan itu hanya berjama’ah semata, tanpa harus mengerjakannya di masjid, maka tidak akan diperbolehkan menjama’ shalat hanya karena alasan hujan deras. Karena kebanyakan orang pada umumnya mampu melaksanakan shalat berjama’ah di rumahnya masing-masing. Karena setiap orang pada umumnya memiliki istri, anak, pembantu, teman atau lainnya, maka sangat memungkinkan sekali untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Bertitik tolak pada hadits, maka ketika diperbolehkan menjama’ shalat, tidak diperbolehkannya meninggalkan persyaratannya yaitu waktu shalat. Jadi menurut pendapat ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu, baik fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain.”
Barangsiapa yang betul-betul ingin mengamalkan hadits, jelaslah baginya bahwa melaksanakan shalat di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain, kecuali apabila ada hal-hal yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Tidak mendatangi masjid tanpa adanya alasan syar’i, sama hukumnya dengan meninggalkan berjama’ah tanpa adanya alasan syar’i. Pendapat ini sesuai dengan semua hadits dan atsar (pendapat para sahabat Nabi saw).
Ketika Rasulullah saw wafat dan berita kewafatannya itu sampai kepada penduduk Mekah. Suhail bin Amar menasehati mereka dan Atab bin Asyad pegawai (staf) Suhail pergi ke Mekah dengan penuh ketakutan dari penduduk Mekah. Kemudian Suhail mengajaknya keluar , dan menganjurkan penduduk Mekah aga tetap berpegang teguh agama Islam. Suhail menasehati mereka yang kemudia dilanjutkan oleh Atab bin Asyad, dia berkata, “Wahai penduduk Mekah, demi Allah seandainya sampai kepadaku ada di antara kamu yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, maka akan aku penggal lehernya.” Para sahabat Rasulullah saw berterima kasih kepda Atab atas tindakannya itu, dan bertambah tinggi penghormatan para sahabat kepadanya.
Orang yang berpegang teguh kepada agama Allah akan berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, kecuali apabila ada alasana syar’i. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
————————–
Berikut artikel tambahan tentang kenikmatan orang yang rajin shalat berjama’ah di Masjid, terutama ketika mendatangi shalat Isya dan Subuh di malam hari, orang tersebut berjalan dalam kegelapan malam. Maka Allah akan memberikannya cahaya yang sempurna pada hari kiamat ketika mereka menyebrangi gelapnya jembatan shirat yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang ketika menuju Surga sedangkan di bawahnya adalah Neraka.
Artikel tersebut diambil dari tulisan Ust. Ihsan Tanjung dari Eramuslim.com, di-artikel tersebut ada bahasan di Al Quran surat Al-Hadid ayat 12-16 yang menceritakan peristiwa di atas jembatan shirat. Dimana orang mu’min membawa cahaya, dan orang munafik kehilangan cahaya di atas jembatan shirat tersebut, sehingga memanggil-manggil orang mu’min agar memberikan sebagaian cahayanya. Dibagian ini saya sisipkan Murrotal ayat tersebut yang dibawakan oleh Salma Utaybi, amat syahdu, mengerikan, menggetarkan hati, dihayati, ada ilustrasi yang pas di video tersebut yang diambil dari youtube.com.
Amal Perbuatan Yang Memudahkan Mukmin Menyeberangi Jembatan Neraka
Sebagaimana sudah kita ketahui setiap Ahli Tauhid sebelum berhak mencapai pintu gerbang surga diharuskan melewati ujian berat yaitu menyeberangi jembatan yang membentang di atas Neraka Jahannam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam melukiskan jembatan itu sebagai lebih tipis dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Ada mereka yang sukses menyeberanginya, ada yang sukses namun terluka kena sabetan duri-duri dan besi-besi kait yang merobek sebagian anggota tubuhnya sementara ada yang gagal sehingga terjatuh dan terjerembab dengan wajahnya terlebih dahulu masuk ke dalam api menyala-nyala Neraka Jahannam.
وَلِجَهَنَّمَ جِسْرٌ أَدَقُّ مِنْ الشَّعْرِ وَأَحَدُّ مِنْ السَّيْفِ عَلَيْهِ كَلَالِيبُ وَحَسَكٌ يَأْخُذُونَ مَنْ شَاءَ اللَّهُ وَالنَّاسُ عَلَيْهِ كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ وَكَأَجَاوِيدِ الْخَيْلِ وَالرِّكَابِ وَالْمَلَائِكَةُ يَقُولُونَ رَبِّ سَلِّمْ رَبِّ سَلِّمْ فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَمَخْدُوشٌ مُسَلَّمٌ وَمُكَوَّرٌ فِي النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ
“Dan Neraka Jahannam itu memiliki jembatan yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Di atasnya ada besi-besi yang berpengait dan duri-duri yang mengambil siapa saja yang dikehendaki Allah. Dan manusia di atas jembatan itu ada yang (melintas) laksana kedipan mata, ada yang laksana kilat dan ada yang laksana angin, ada yang laksana kuda yang berlari kencang dan ada yang laksana onta berjalan. Dan para malaikat berkata: ”Rabbi sallim. Rabbi sallim.” ( ”Ya Allah, selamatkanlah. Selamatkanlah.”)  Maka ada yang selamat, ada yang tercabik-cabik lalu diselamatkan dan juga ada yang digulung dalam neraka di atas wajahnya.” (HR Ahmad 23649)
Setiap orang yang mengaku beriman sudah barang tentu berharap dirinya masuk ke dalam golongan mereka yang selamat menyeberanginya sehingga berhak masuk Surga dan dijauhkan dari azab api neraka. Namun pertanyaannya ialah bagaimana hal itu bisa tercapai? Apa syarat-syarat agar seorang Mukmin berhak menikmati kesuksesan tersebut? Sebenarnya dalam hadits lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam telah mengisyaratkan sebagian jawabannya.
 إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَدْعُو النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِهِمْ سِتْرًا مِنْهُ عَلَى عِبَادِهِ، وَأَمَّا عِنْدَ الصِّرَاطِ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي كُلَّ مُؤْمِنٍ نُورًا، وَكُلَّ مُؤْمِنَةٍ نُورًا، وَكُلَّ مُنَافِقٍ نُورًا، فَإِذَا اسْتَوَوْا عَلَى الصِّرَاطِ سَلَبَ اللَّهُ نُورَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ، فَقَالَ الْمُنَافِقُونَ انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ وَقَالَ الْمُؤْمِنُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنا فَلا يَذْكُرُ عِنْدَ ذَلِكَ أَحَدٌ أَحَدًا
“Allah akan memanggil umat manusia di akhirat nanti dengan nama-nama mereka ada tirai penghalang dari-Nya. Adapun di atas jembatan Allah memberikan cahaya kepada setiap orang beriman dan orang munafiq. Bila mereka telah berada di tengah jembatan, Allah-pun segera merampas cahaya orang-orang munafiq. Mereka menyeru kepada orang-orang beriman: ”Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kamu.” (QS Al-Hadid ayat 13) Dan berdoalah orang-orang beriman: ”Ya Rabb kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami.”(QS At-Tahrim ayat 8)  Ketika itulah setiap orang tidak akan ingat orang lain.” (HR Thabrani 11079)
Di antara solusinya ialah seorang mukmin mesti mengupayakan agar dirinya kelak memiliki cukup cahaya agar mampu menyeberangi kegelapan dan panasnya neraka. Sebab pada saat akan menyeberangi jembatan tersebut setiap orang dibekali Allah cahaya agar mampu melihat jalan yang sedang ditelusurinya di atas jembatan tersebut. Dan bila ia termasuk mukmin sejati cahaya yang diterimanya itu akan setia menemani dan menyinari dirinya sepanjang penyeberangan itu hingga sampai ke ujung menjelang pintu surga. Namun jika ia termasuk orang yang imannya bermasalah lantaran begitu banyak dosanya, apalagi kalau ia termasuk orang munafik, maka di tengah perjalanan menyeberangi jembatan Allah tiba-tiba padamkan cahaya yang menemaninya sehingga ia dibiarkan dalam kegelapan dan akibatnya ia menjadi tersesat dan terjatuh ke dalam api neraka.
Begitu cahaya orang-orang munafik itu mendadak dipadamkan Allah, maka mereka akan berteriak panik dan memohon kepada orang-orang beriman sejati agar dibagi sebagian cahaya yang setia menemani mukmin sejati itu. Sungguh gambaran mengerikan yang dengan jelas diuraikan Allah di dalam ayat-ayat berikut ini:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آَمَنُوا
انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ
 الْعَذَابُ يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ
 أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى
جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلَا
مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلَاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak, (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mu’min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mu’min) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS Al-Hadid ayat 11-15)
Lalu apakah amal perbuatan yang akan menyebabkan seorang mukmin memiliki cukup cahaya untuk sukses menyeberangi jembatan itu? Ternyata, di antaranya ialah kesungguhan seorang mukmin untuk bertaubat dari dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan. Inilah yang disebut dengan aktifitas Taubatan Nasuhan (Taubat Yang Murni). Taubatan Nasuha inilah yang akan menyebebkan seorang mukmin memperoleh cahaya yang disempurnakan untuk sukses menyeberangi jambatan Neraka. Bukan taubat musiman alias taubat yang tidak menyebabkan seseorang benar-benar meninggalkan perbuatan dosa yang dilakukannya. Perhatikanlah ayat Allah berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan Taubatan Nasuhan (taubat yang semurni-murninya), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At-Tahrim ayat 8 )
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, beliau bersabda: ”Shirath itu setajam pedang dan sangat menggelincirkan.” Beliau melanjutkan: ”Lalu mereka melintas sesuai dengan cahaya yang mereka miliki. Maka di antara mereka ada yang melintas secepat meteor,  ada pula yang melintas secepat kedipan mata, ada pula yang melintas secepat angin, ada pula yang melintas seperti orang berlari, dan ada pula yang berjalan dengan cepat. Mereka melintas sesuai amal perbuatan mereka, hingga tibalah saat orang yang cahayanya ada di jari jempol kedua kakinya melintas, satu tangannya jatuh, dan satu tangannya lagi menggantung, satu kakinya jatuh dan satu kakinya lagi menggantung, kedua sisinya terkena api neraka.”
Kedua, seorang Mukmin akan dijamin memiliki cukup cahaya saat menyeberangi jembatan di atas Neraka jika ia rajin berjalan ke masjid dalam kegelapan untuk menegakkan sholat wajibnya semata ingin meraih keridhaan Allah. Nabi bersabda:
بَشِّرْ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid-masjid dalam kegelapan dengan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah 773)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seringkali ketika berjalan menuju ke masjid berdoa dengan doa sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا
 وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِ
 نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, dalam penglihatanku, dalam pendengaranku, di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di sebelah atasku, di sebelah bawahku, di depanku, di belakangku dan jadikanlah aku bercahaya.” (HR Bukhary 5841)
Ketiga, seorang Mukmin akan sukses menyeberangi jembatan neraka bila ia melindungi sesama mukmin dari kejahatan orang Munafik. Dan sebaliknya barangsiapa yang mengucapkan perkataan buruk untuk mencemarkan seorang Muslim, maka Allah akan menghukumnya dalam bentuk ia ditahan di atas jembatan neraka hingga dosa ucapannya menjadi bersih.  
مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ أُرَاهُ قَالَ بَعَثَ اللَّهُ مَلَكًا يَحْمِي
 لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ وَمَنْ رَمَى مُسْلِمًا بِشَيْءٍ يُرِيدُ
 شَيْنَهُ بِهِ حَبَسَهُ اللَّهُ عَلَى جِسْرِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa melindungi seorang Mukmin dari kejahatan orang Munafik, Allah akan mengutus malaikat untuk melindungi daging orang itu –pada hari Kiamat- dari neraka jahannam. Barangsiapa menuduh seorang Muslim dengan tujuan ingin mencemarkannya, maka Allah akan menahannya di atas jembatan neraka jahannam hingga orang itu dibersihkan dari dosa perkataan buruknya.” (HR Abu Dawud 4239)
Saudaraku, sungguh kita semua sangat membutuhkan cahaya yang mencukupi untuk menyeberangi jembatan neraka dengan selamat. Semoga Allah masukkan kita bersama ke dalam golongan Mukmin sejati. Semoga Allah bersihkan hati kita bersama dari penyakit kemunafikan. Sebab kemunafikan akan menyebabkan cahaya seseorang tiba-tiba padam saat menyeberangi jembatan neraka sehingga ia menjadi  tergelincir lalu jatuh ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Na’udzubillahi min dzalika…!
اَللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ النِّفَاق وَ اَعْمَالَنَا مِنَ الرِّيَاء وَ أَلْسِنَتَنَا مِنَ الْكَذِب وَ أَعْيُنَنَا مِنَ الخِْيَانَة إِنَّكَ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُن وَ مَا تُخْفِ الصُّدُور
Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari kemunafikan, dan ‘amal perbuatan kami dari riya dan lisan kami dari dusta serta pandangan mata kami dari khianat. Sesungguhnya Engkau Maha Tahu khianat pandangan mata dan apa yang disembunyikan hati.
————-
Berikut Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir At-Taubah Ayat 18 tentang Para Pemakmur Masjid sebagai berikut:
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَ‌ۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ
 Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At Tawbah: 18)
Allah Ta’ala mempersaksikan keimanan para pemakmur masjid, sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka persaksikanlah dia dengan keimanan.” (HR. Ahmad)
Hadist senada diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Marwadih, dan al-Hakim di dalam Mustadraknya. Al-Hafid Abud Bakar al-Bazar meriwayatkan dari Tsabit bin Anas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya para pemakmur masjid itu hanyalah ahli Allah.” (HR. Tirmidzi)
Semua kata ‘Asa (Mudah-mudahan) di dalam Al Quran berarti wajib. Ibnu Ishak berkata, “Kata ‘Asa (mudah-mudahan) dari Allah berarti benar.
————-
Silahkan melihat tulisan mengeanai Bermegahan dalam Membangun Masjid, Menjadikannya Tempat Jalan-Jalan dan Sedikitnya yang Shalat Berjama’ah di dalamnya pada Akhir Zaman di http://rezakahar.wordpress.com/2009/10/04/bermegahan-dalam-membangun-masjid-dan-menjadikannya-tempat-jalan-jalan-di-akhir-zaman/
————-
Referensi:
1. Al Jauziyah, Ibnul Qoyyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha, Terjemahan Bahasa Indonesia: Rahasia dibalik Shalat. Hal: 119-150. Jakarta: Pustaka Azzam, Cetakan Kesembilan Agustus 2005.
3. Ibnu Katsir. Terjemahan Bahasa Indonesia: Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Hal: 575-576.  Cetakan kesembilan. Juli 2006. Penerbit GIP – Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar